MK Tolak Pernikahan Beda Agama, Upaya Pasangan Katolik-Islam di Papua Ini Kandas

- 31 Januari 2023, 17:27 WIB
/

PotensiBadung.com - Rencana E. Ramos Petege, pemuda asal Papua beragama Katolik menikah beda agama dengan sang kekasih yang beragama Islam kandas. Pasalnya, permohonan uji materiil atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang dia lakukan ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

"Menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ucap Ketua MK Prof Anwar Usman dalam amar putusannya, di Jakarta, Selasa (31/1/2023).

E. Ramos Petege, seorang Katolik asal Kampung Gabaikunu, Mapia Tengah, Provinsi Papua mengajukan uji materiil UU Perkawinan.

Baca Juga: Raffi Ahmad Bantu Nono Uang Sekolah Rp 10 Juta

Alasannya, UU tak memberi ruang untuk adanya perkawinan beda agama. Sedangkan  Ramos punya kekasih beragama Islam yang niatnya ingin dinikahi dengan tetap mempertahankan agamanya masing-masing.

Dalam permohonan uji materiil dia menyebutkan dalil inkonstitusionalitas Pasal 2 Ayat (1) dan Ayat (2) serta Pasal 8 huruf f UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.  

Ditegaskan, perkawinan adalah hak asasi yang merupakan ketetapan atau takdir Tuhan. Sehingga, setiap orang berhak menikah dengan siapa pun, tak pandang agamanya.

Baca Juga: Baby Shark Rasa Eropa, Macan Kemayoran Makin Garang

E. Ramos Petege menilai negara tidak bisa melarang atau tidak mengakui pernikahan beda agama. Menurut dia, negara wajib memberi solusi bagi pasangan beda agama.   

Ramis juga menjelaskan, Pasal 2 Ayat (1) telah menimbulkan beda penafsiran dengan apa yang dimaksud dengan "hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu". 

Akibatnya, institusi agama tidak bersedia melangsungkan pernikahan atau perkawinan beda agama dan petugas catatan sipil menolak mencatatkan.

Baca Juga: Duel Pembuktian Mahesa Jenar, Waktunya Bungkam Persib Bandung

Pemohon menjelaskan, apabila perkawinan hanya boleh untuk yang seagama, maka negara telah memaksa warga negara.

Dalam Pasal 2 Ayat (2), menurut pemohon juga menimbulkan tafsir bagi pelaksana UU untuk tidak dimungkinkan melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi berbagai tafsir dalam hukum agama, dan kepercayaan masing-masing agar menghindari perkawinan beda agama.

Lebih lanjut Pasal 8 huruf f menimbulkan ambiguitas, kabur, ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Baca Juga: Menjelma Jadi Tim Menakutkan, Tangguh di Belakang, Tajam di Depan, Aji Santoso Bongkar Rahasia Persebaya

Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengakui, HAM diakui Indonesia dan tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.

Namun, hakim menilai HAM yang berlaku di Indonesia mesti sejalan dengan falsafah Pancasila.

Terkait pokok perkara yaitu perkawinan, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal HAM) dengan UUD 1945.

Baca Juga: Catat! Timnas Indonesia Siapkan Dua FIFA Match Day di Bulan Maret, Lawannya Tiongkok?

Dalam Pasal 16 Ayat (1) UDHR menyebutkan secara eksplisit, "Men and women of full age, without any limitation due to race, nationality or religion, have the right to marry and to found a family".

Yang dapat diterjemahkan sebagai berikut: "Laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah dan untuk membentuk keluarga".

Sedangkan UUD 1945 rumusannya berbeda yang dituangkan dala, Pasal 28B Ayat (1) yaitu "Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah".

Baca Juga: Imbas Pemain Abroad Pulang Kampung? Indra Sjafri Berharap Marselino Ferdinan Dapat Klub yang Tepat

Berdasarkan rumusan Pasal 28B Ayat (1) UUD 1945 tersebut, ada dua hak yang dijamin secara tegas dalam ketentuan a quo yaitu hak membentuk keluarga dan hak melanjutkan keturunan. ***

Editor: Yoyo Raharyo

Sumber: ANTARA


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah