Ramis juga menjelaskan, Pasal 2 Ayat (1) telah menimbulkan beda penafsiran dengan apa yang dimaksud dengan "hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu".
Akibatnya, institusi agama tidak bersedia melangsungkan pernikahan atau perkawinan beda agama dan petugas catatan sipil menolak mencatatkan.
Baca Juga: Duel Pembuktian Mahesa Jenar, Waktunya Bungkam Persib Bandung
Pemohon menjelaskan, apabila perkawinan hanya boleh untuk yang seagama, maka negara telah memaksa warga negara.
Dalam Pasal 2 Ayat (2), menurut pemohon juga menimbulkan tafsir bagi pelaksana UU untuk tidak dimungkinkan melangsungkan perkawinan beda agama dengan menggeneralisasi berbagai tafsir dalam hukum agama, dan kepercayaan masing-masing agar menghindari perkawinan beda agama.
Lebih lanjut Pasal 8 huruf f menimbulkan ambiguitas, kabur, ketidakjelasan hukum dalam konteks perkawinan beda agama sebagai suatu peristiwa hukum yang diperbolehkan atau dilarang dalam hukum agama dan kepercayaan masing-masing.
Hakim MK Prof Enny Nurbaningsih mengakui, HAM diakui Indonesia dan tertuang dalam UUD 1945 sebagai hak konstitusionalitas warga negara.
Namun, hakim menilai HAM yang berlaku di Indonesia mesti sejalan dengan falsafah Pancasila.
Terkait pokok perkara yaitu perkawinan, terdapat perbedaan konstruksi jaminan perlindungan antara Universal Declaration of Human Rights (Deklarasi Universal HAM) dengan UUD 1945.