Kiprah Jaksa Agung Burhanudin: Tajam Ke Atas Humanis Ke Bawah

- 21 Mei 2022, 12:29 WIB
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin saat meberikan keterangan pres
Jaksa Agung RI ST Burhanuddin saat meberikan keterangan pres /PotensiBadung/Dok

Namun hal yang paling penting dalam penerapan keadilan restoratif (restorative justice) yaitu korban mau memberikan maaf kepada pelaku tindak pidana dan hak-hak korban yang ditimbulkan akibat perbuatan pelaku dapat dipulihkan kembali seperti sediakala.

Terobosan penegakan hukum tidak cukup sampai disini, Jaksa Agung RI Burhanudin kembali membuat gebrakan dengan membentuk Rumah Restoratif Justice (Rumah RJ) di setiap Kejaksaan yang diawali dari setiap Kejaksaan Negeri / Kabupaten minimal 1 Rumah RJ dan selanjutnya setiap Kecamatan dan setiap desa.

Adapun maksud dan tujuan Rumah RJ tersebut untuk menciptakan harmonisasi dan kedamaian di tengah masyarakat. Saat me-launching Rumah RJ tersebut, Jaksa Agung RI Burhanudin berpesan rumah ini dijadikan rumah masyarakat yang tidak saja berfungsi untuk kepentingan penyelesaian perdamaian perkara pidana tetapi juga bisa untuk menyelesaikan perkara perdata, waris, perkawinan, bahkan digunakan sebagai tempat musyawarah untuk menyampaikan program masayarakat desa dan sosialisasi.

Baca Juga: Kejari Morotai Tetapkan 3 Tersangka Korupsi TPU Sangowo, Siapa Saja Mereka?

Baca Juga: Kejati Bali Menetapkan Anak Mantan Sekda Buleleng Dewa Radhea Jadi Tersangka Perkara Korupsi dan TPPU

Jaksa Agung RI menyadari peran Jaksa di tengah masyarakat sangat dibutuhkan untuk menghilangkan resistensi atau pembalasan di masyarakat dalam penanganan perkara sehingga kedepannya Pengadilan adalah benteng terakhir pencari keadilan ketika kesepakatan dan damai itu sudah tidak bisa lagi ditetapkan dalam setiap perkara, dan hal ini sesuai dengan prinsip “Ultimum Remidium”.

Restorative Justice merupakan bagian dari instrumen mediasi penal yaitu penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan.

Criminal Justice System, pada hakikatnya diatur secara ketat sebagai lex scripta namun bagaimana pelaksanaan restorative justice yang notabene merupakan perkara yang sudah masuk dalam proses criminal justice system (pro justucia)?

Seharusnya beranjak bahwa asas legalitas hukum acara pidana hanyalah bisa disimpangi oleh hak oportunitas Jaksa Agung RI, artinya hanya Jaksa yang seharusnya dapat menutup atau mengeyampingkan perkara pidana melalui instrumen restorative justice.

Baca Juga: Berkas Eks Sekda Buleleng Dinyatakan Lengkap, Penyidik Kejati Bali Limpahkan Tersangka Gratifikasi ke JPU

Baca Juga: Mantan Sekda Buleleng Dituntut 10 Tahun Penjara, Apa yang Memberatkan?

Proses panjang pelaksanaan restorative justice pada awalnya banyak pihak yang meragukan dimana bagaimana membangun pola pikir (mindset) Jaksa bahwa ini adalah produk unggulan yang berlandaskan dominus litis Penuntut Umum dan tidak dipermainkan oleh petugas Kejaksaan di lapangan yang justru dapat menciderai kepercayaan dan rasa keadilan masyarakat.

Namun, berkat ketegasan Jaksa Agung RI yang akan menindak tegas setiap pelanggaran dan tindakan tercela yang dapat menciderai program Kejaksaan khususnya menyangkut kepentingan orang banyak dan masyarakat, niscaya Jaksa Agung RI akan memberikan hukuman terberat sampai pidana dan pemecatan.

Tidak berhenti disitu, Jaksa Agung RI Burhanudin mengeluarkan Pedoman Nomor 18 Tahun 2021 yang ditujukan kepada Penuntut Umum sehingga memiliki acuan menangani kasus penyalahgunaan narkotika melalui rehabilitasi.

Baca Juga: Korupsi Minyak Goreng, Jaksa Agung: Jika Ada Menteri Terlibat, Kami Siap Tindak!

Baca Juga: Warga Desak Penetapan Tersangka Korupsi LPD Serangan, Kasi Intel Kejari Denpasar : Tunggu Saja!

Gagasan ini melahirkan ide humanis yaitu pembentukan rumah rehabilitasi di setiap Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, mengingat kasus yang ditangani Kejaksaan, 80% adalah perkara narkotika dan 95% adalah mereka yang menjadi korban alias pengguna.

Jaksa Agung RI sangat prihatin jika korban ini disamakan dengan pengedar atau penjahat, maka bukan kesembuhan yang didapat namun akan terjerumus atau bisa terafiliasi dengan pengedar.

Oleh karenanya, pengguna yang juga merupakan korban sangat penting untuk dilakukan arahan rehabilitasi fisik dan psikis (kesehatan) serta rehabilitasi sosial sehingga apabila sudah dinyatakan sembuh, tidak memiliki stigma negatif sebagai pecandu atau pelaku tindak pidana dengan harapan mereka bisa kembali ke masyarakat dengan baik.

Halaman:

Editor: Hari Santoso


Tags

Artikel Pilihan

Terkait

Terkini

Terpopuler

Kabar Daerah